BERAGAMA DENGAN MODAL DENGKUL
Oleh : Ahmad Ishomuddin
Untuk memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan benar, selain harus dengan niat yang ikhlas, juga harus dengan ilmu yang benar melalui bimbingan para ahlinya (Ulama). Jadi memahami, mengamalkan dan mengajarkan agama jelas tidak cukup hanya bermodalkan semangat saja.
Sudah berapa banyak "juru dakwah" yang sesat dan menyesatkan karena menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an dan atau hadits-hadits tanpa ilmu yang memadai atau hanya berdasarkan hawa nafsu saja dan bahkan nekad menerapkannya bukan pada tempat dan situasinya yang tepat.
Diantara mereka ada yang belajar agama dengan niat dan motiv yang tidak dibenarkan, seperti untuk mencari pengaruh di kalangan orang-orang awam. Sebagian mereka ada yang berniat untuk menarik simpati dan decak kagum kalangan awam, bahkan tanpa rasa berdosa mencari-cari ayat al-Qur'an sekedar sebagai dalih untuk menyesatkan, mengkafirkan sesamanya. Dan di antara mereka juga tanpa rasa bersalah nekad menggunjing (ghibah) dan merendahkan kehormatan para ulama yang jauh lebih berilmu, lebih menjaga kehormatan, santun lagi lebih penyayang, lebih masyhur dan lebih luas manfaatnya dibandingkan dirinya. Semua itu adalah fenomena kasat mata yang mudah dijumpai dalam kehidupan nyata.
Beragama harus dengan ilmu, bukan dengan hawa nafsu. Beragama dengan ilmu tentu membutuhkan akal yang cerdas dan jiwa yang waras, agar amanah dalam menyampaikan ajaran agama. Sebaliknya, beragama dengan ketundukan kepada hawa nafsu telah terbukti membawa manusia ke jalan hidup yang arahnya tiada menentu. Kerusakan yang diakibatkan oleh beramal atas nama agama tanpa ilmu itu saat ini sampai dalam taraf yang menakutkan.
Agaknya agama oleh sebagian orang sudah mulai banyak disalahgunakan, seperti untuk meraih kekayaan, kekuasaan dan popularitas. Terbukti banyak penipuan untuk meraih materi duniawi dengan berkedok agama. Dalam siatuasi seperti itu setiap kita yang ingin selamat dunia-akhirat harus lebih berhati-hati dan selektif dalam memilih bacaan, tuntunan dan atau pengajar ilmu-ilmu agama.
Sekedar contoh untuk memudahkan pemahaman, barangkali setiap muslim mengerti bahwa membaca al-Qur'an itu sangat dianjurkan, namun mungkin ada sebagian mereka belum mengetahui adanya larangan membacanya pada sebagian waktu, seperti dilarang membacanya saat ruku' dan sujud, seperti tidak memuji Allah pada saat duduk di antara dua sujud, semisal dilarang shalat di tempat-tempat atau waktu-waktu tertentu, dan sebagaimana diharamkannya berpuasa pada hari-hari tertentu.
Contoh lainnya, mungkin setiap orang tahu bahwa korupsi itu haram, tetapi tidak setiap orang mampu menghindarinya atau koruptor itu tidak tahu keharaman memberikan hasil korupsi kepada pihak lain, meski untuk maksud menyumbang anak yatim, rumah ibadah dan sebagainya atau bahkan naik haji dengan biaya hasil korupsi.
Tidak setiap ayat al-Qur'an atau hadits shahih boleh diamalkan, seperti yang dihapus keberlakuannya (mansukh) atau karena tidak sesuai dengan situasi dan kondisinya misalnya berjihad fi sabilillah dalam kondisi damai. Dan demikian halnya, tidak setiap hadits dha'if wajib ditinggalkan seperti karena sudah diamalkan oleh umat Islam dari berbagai generasi. Sebagaimana tidak setiap apa yang dilakukan oleh Rasulullah shalla Allahu 'alaihi wa sallama wajib kita amalkan, seperti menikah lebih dari empat isteri dan sebagainya.
Selain perlu bimbingan yang intensif dan penjelasan dari ulama yang otoritatif, untuk memahami ajaran agama Islam dengan benar dari sumber aslinya berupa al-Qur'an dan al-Hadits juga perlu kemampuan ilmiah yang cukup untuk bisa mengakses penjelasan para ulama berbagai referensi ajaran Islam berbahasa Arab, seperti kitab-kitab tafsir, aqidah, fikih dari berbagai madzhab, akhlak-tashawwuf dan sebagainya. Untuk menjadi ahli agama tidak cukup hanya belajar agama secara otodidak dan tidak cukup hanya merujuk kepada buku-buku agama terjemahan. Bagi kalangan awam dalam hal agama, bahkan dalam hal apa saja, seharusnya mengikuti petunjuk para ahlinya dan tidak perlu ikut-ikutan berkomentar dan menjelaskan apa saja yang tidak dipahaminya.
Jadi, mengamalkan ajaran agama harus dengan ilmu, niat yang ikhlas dan akhlak mulia melalui bimbingan ulama yang terpercaya, dengan merujuk kepada referensi agama yang mu'tabarah (otoritatif). Tidak cukup beragama dengan modal semangat, apalagi beragama bermodal dengkul.
Untuk memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan benar, selain harus dengan niat yang ikhlas, juga harus dengan ilmu yang benar melalui bimbingan para ahlinya (Ulama). Jadi memahami, mengamalkan dan mengajarkan agama jelas tidak cukup hanya bermodalkan semangat saja.
Sudah berapa banyak "juru dakwah" yang sesat dan menyesatkan karena menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an dan atau hadits-hadits tanpa ilmu yang memadai atau hanya berdasarkan hawa nafsu saja dan bahkan nekad menerapkannya bukan pada tempat dan situasinya yang tepat.
Diantara mereka ada yang belajar agama dengan niat dan motiv yang tidak dibenarkan, seperti untuk mencari pengaruh di kalangan orang-orang awam. Sebagian mereka ada yang berniat untuk menarik simpati dan decak kagum kalangan awam, bahkan tanpa rasa berdosa mencari-cari ayat al-Qur'an sekedar sebagai dalih untuk menyesatkan, mengkafirkan sesamanya. Dan di antara mereka juga tanpa rasa bersalah nekad menggunjing (ghibah) dan merendahkan kehormatan para ulama yang jauh lebih berilmu, lebih menjaga kehormatan, santun lagi lebih penyayang, lebih masyhur dan lebih luas manfaatnya dibandingkan dirinya. Semua itu adalah fenomena kasat mata yang mudah dijumpai dalam kehidupan nyata.
Beragama harus dengan ilmu, bukan dengan hawa nafsu. Beragama dengan ilmu tentu membutuhkan akal yang cerdas dan jiwa yang waras, agar amanah dalam menyampaikan ajaran agama. Sebaliknya, beragama dengan ketundukan kepada hawa nafsu telah terbukti membawa manusia ke jalan hidup yang arahnya tiada menentu. Kerusakan yang diakibatkan oleh beramal atas nama agama tanpa ilmu itu saat ini sampai dalam taraf yang menakutkan.
Agaknya agama oleh sebagian orang sudah mulai banyak disalahgunakan, seperti untuk meraih kekayaan, kekuasaan dan popularitas. Terbukti banyak penipuan untuk meraih materi duniawi dengan berkedok agama. Dalam siatuasi seperti itu setiap kita yang ingin selamat dunia-akhirat harus lebih berhati-hati dan selektif dalam memilih bacaan, tuntunan dan atau pengajar ilmu-ilmu agama.
Sekedar contoh untuk memudahkan pemahaman, barangkali setiap muslim mengerti bahwa membaca al-Qur'an itu sangat dianjurkan, namun mungkin ada sebagian mereka belum mengetahui adanya larangan membacanya pada sebagian waktu, seperti dilarang membacanya saat ruku' dan sujud, seperti tidak memuji Allah pada saat duduk di antara dua sujud, semisal dilarang shalat di tempat-tempat atau waktu-waktu tertentu, dan sebagaimana diharamkannya berpuasa pada hari-hari tertentu.
Contoh lainnya, mungkin setiap orang tahu bahwa korupsi itu haram, tetapi tidak setiap orang mampu menghindarinya atau koruptor itu tidak tahu keharaman memberikan hasil korupsi kepada pihak lain, meski untuk maksud menyumbang anak yatim, rumah ibadah dan sebagainya atau bahkan naik haji dengan biaya hasil korupsi.
Tidak setiap ayat al-Qur'an atau hadits shahih boleh diamalkan, seperti yang dihapus keberlakuannya (mansukh) atau karena tidak sesuai dengan situasi dan kondisinya misalnya berjihad fi sabilillah dalam kondisi damai. Dan demikian halnya, tidak setiap hadits dha'if wajib ditinggalkan seperti karena sudah diamalkan oleh umat Islam dari berbagai generasi. Sebagaimana tidak setiap apa yang dilakukan oleh Rasulullah shalla Allahu 'alaihi wa sallama wajib kita amalkan, seperti menikah lebih dari empat isteri dan sebagainya.
Selain perlu bimbingan yang intensif dan penjelasan dari ulama yang otoritatif, untuk memahami ajaran agama Islam dengan benar dari sumber aslinya berupa al-Qur'an dan al-Hadits juga perlu kemampuan ilmiah yang cukup untuk bisa mengakses penjelasan para ulama berbagai referensi ajaran Islam berbahasa Arab, seperti kitab-kitab tafsir, aqidah, fikih dari berbagai madzhab, akhlak-tashawwuf dan sebagainya. Untuk menjadi ahli agama tidak cukup hanya belajar agama secara otodidak dan tidak cukup hanya merujuk kepada buku-buku agama terjemahan. Bagi kalangan awam dalam hal agama, bahkan dalam hal apa saja, seharusnya mengikuti petunjuk para ahlinya dan tidak perlu ikut-ikutan berkomentar dan menjelaskan apa saja yang tidak dipahaminya.
Jadi, mengamalkan ajaran agama harus dengan ilmu, niat yang ikhlas dan akhlak mulia melalui bimbingan ulama yang terpercaya, dengan merujuk kepada referensi agama yang mu'tabarah (otoritatif). Tidak cukup beragama dengan modal semangat, apalagi beragama bermodal dengkul.
Comments
Post a Comment